Dalil-dalil akan permasalahan ini terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ para salaf.

Dalil-dalil dari Al Qur’an:

Ayat Pertama

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ [البقرة : 207]

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjual dirinya demi mencari keridhaan Allah…” (Al Baqarah:207).

Disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini [1]; bahwa Shuhaib t ketika itu sedang berhijrah dari Mekkah ke Madinah mendatangi Nabi e, maka orang-orang musyrikpun mencegatnya sedang ia seorang diri. Maka ia pun mengambil busur dan panahnya seraya berkata: “Demi Allah, siapa saja yang mendekat dari kalian pasti kupanah!” dan ia bersikeras untuk melawan mereka sendirian… kemudian katanya: “Kalau kalian ingin mengambil hartaku di Mekkah, maka ambillah oleh kalian; dan aku akan menunjukkan di mana tempatnya…”. Akhirnya Shuhaib tiba di Madinah dan bertemu Rasulullah e, maka sambut beliau: “Alangkah beruntungnya perniagaanmu wahai Abu Yahya (sapaan akrab Shuhaib t)”.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa ada seseorang yang menyerang musuh sendirian, lalu orang-orang mengatakan: “Dia menjerumuskan dirinya pada kebinasaan”. Maka kata Umar t : “Sekali-kali tidaklah demikian, bahkan dia termasuk orang yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjual dirinya demi mencari keridhaan Allah, dan sesungguhnya Allah itu amat penyayang terhadap hamba-hamba-Nya” (Al Baqarah:207) [2].

Firman Allah yang berbunyi (يَشْرِي نَفْسَهُ) maksudnya: menjual dirinya, jadi (الشِّرَاءُ) adalah sinonim dari (الْبَيْعُ) yang maknanya menjual, sedangkan kata (اِشْتَرَاهُ) adalah sinonim dari (اِبْتَاعَهُ) yang artinya membeli. Seperti firman Allah U: “Dan mereka membelinya (Yusuf) dengan harga murah, hanya beberapa dirham saja…” (Yusuf:20). Jadi firman Allah (يَشْرِي نَفْسَهُ) maknanya ialah menjual dirinya kepada Allah demi meraih keridhaan-Nya, yaitu dengan mengorbankan jiwa raganya untuk setiap hal yang diridhai dan dicintai Allah, meskipun menurut dugaan kuatnya ia bakal terbunuh.

Ayat Kedua

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (111) التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ  [التوبة : 112

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau dibunuh Itulah janji yang benar dari Allah dalam Taurat, Injil, dan Al Qur’an. Dan siapakan yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar . Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, ahli ibadah, yang bertahmid kepada Allah, yang mengembara (untuk berjihad), ahli ruku’, ahli sujud, gemar beramar ma’ruf nahi munkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman itu” (At Taubah:111-112). Dan ayat ini:“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, jiwa dan harta mereka…”, juga mengisyaratkan akan hal yang sama. Karena seorang pembeli akan diserahkan kepadanya apa yang telah dibelinya, yaitu berupa pengorbanan harta dan jiwa di jalan Allah. Dan jika orang tadi mengira bahwa nyawanya akan melayang dan kudanya akan disembelih, maka ini termasuk mati syahid yang paling afdhal.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam shahihnya, dari Ibnu Abbas t katanya; Rasulullah e bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ – يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ- قَالَ : قَالوُا يَا رَسُولَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ؟ قَالَ : وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ ، إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ .

“Tiada hari-hari yang amal shaleh saat itu lebih dicintai oleh Allah, selain hari-hari ini –maksudnya sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah” mereka bertanya: “Sekalipun itu jihad fi sabilillah ya Rasulullah?” jawab beliau: “Ya, sekalipun itu jihad fi sabilillah, kecuali bila seseorang berangkat jihad dengan harta dan jiwanya, lalu kembali tanpa membawa apa pun (yakni mati syahid)” [3]. Dalam riwayat lain disebutkan: يُعْقَرُ جَوَادُهُ وَأُهْرِيْقَ دَمُهُ  artinya: “Yaitu orang yang kudanya disembelih dan darahnya ditumpahkan” [4].

Diriwayatkan dalam As Sunan dari Abdullah bin Hubsyi, bahwa Rasulullah e ditanya:

أَيُّ اْلأَعْمالِ أَفْضَلُ؟ قالَ: طُولُ الْقِيَامِ، قِيلَ: فأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قالَ: جُهْدُ المُقِلِّ، قِيلَ: فأَيُّ الْهِجْرَةِ أَفْضَلُ؟ قال: مَنْ هَجَرَ مَا حَرَّمَ الله عَلَيْهِ، قِيلَ: فأَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ؟ قال: مَنْ جَاهَدَ المُشْرِكِينَ بِمَالِهِ وَنَفْسِهِ، قِيلَ فَأَيُّ القَتْلِ أَشْرَفُ؟ قَالَ: «مَنْ أُهْرِيْقَ دَمُهُ وَعُقِرَ جَوَادُهُ ».

“Amal apakah yang paling utama?” jawab beliau: “Shalat malam yang lama”, kemudian ditanya lagi: “Sedekah apakah yang paling utama?” jawab beliau: “Sedekah hasil jerih payah orang yang tak punya”, lalu ditanya lagi: “Jihad bagaimanakah yang paling utama?” jawab beliau: “Jihadnya seseorang dengan harta dan jiwanya melawan kaum musyrikin” kemudian tanyanya lagi: “Terbunuh seperti apakah yang paling mulia?” jawab beliau: “Seperti orang yang kudanya disembelih dan darahnya ditumpahkan” [5].

Dalil lainnya ialah perintah Allah U kepada Ibrahim u kekasih-Nya agar menyembelih puteranya, sebagai ujian baginya apakah ia benar-benar akan membunuh puteranya itu sebagai wujud kecintaan dan ketaatannya kepada Allah ataukah tidak? Sedangkan membunuh anak sendiri mungkin terasa lebih berat bagi seseorang dari pada membiarkan dirinya sendiri yang terbunuh, dan pembunuhan di jalan Allah lebih dicintai oleh-Nya dari pembunuhan lainnya.

Ayat Ketiga

Allah U mengabarkan[6] bahwa Dia telah memerintahkan Ibrahim u untuk menyembelih puteranya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah, dan sebagai ujian baginya. Oleh karenanya Allah menghapus perintah itu setelah kesungguhan Ibrahim untuk menyembelih puteranya tadi terbukti; karena yang jadi tujuan utama perintah ini bukanlah penyembelihan itu sendiri, akan tetapi sekedar ujian baginya [7].

Demikianlah Allah menguji, orang-orang beriman agar mengorbankan nyawa mereka dengan dibunuh di jalan Allah, dan sebagai realisasi atas cinta mereka kepada Rasul-Nya. Jika akhirnya mereka terbunuh, jadilah mereka para syuhada’, dan jika mereka tetap hidup, jadilah mereka orang yang berbahagia.

Sebagaimana firman Allah U:

قُلْ هَلْ تَرَبَّصُونَ بِنَا إِلَّا إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ [التوبة : 52]

“Katakanlah, tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan” (At Taubah:52). Maksudnya kemenangan atau mati syahid di jalan Allah –pent).

Ayat Keempat

Allah berfirman kepada Bani Israel:

فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ

“Maka bertobatlah kalian kepada Allah pencipta kalian, dan bunuhlah diri kalian; hal itu adalah lebih baik bagi kalian di sisi Allah” (Al Baqarah:54). Maksudnya; hendaklah kalian saling bunuh-membunuh.

Maka Allah mencampakkan kegelapan kepada mereka, sampai-sampai orang yang tidak ikut menyembah anak sapi ‘tega’ membunuhi mereka yang menyembah anak sapi…

Demikianlah syari’at umat sebelum kita… perintah Allah kepada mereka untuk berbunuh-bunuhan tadi [8] telah diganti oleh Allah dengan syari’at lain yang jauh lebih baik dan bermanfaat; yaitu ketika kaum mukminin berjihad melawan musuh Allah dan musuh mereka; yang dengan demikian jiwa mereka terancam terbunuh di jalan Allah, di tangan musuh-musuh mereka, dan bukan di tangan mereka sendiri… dan hal tersebut lebih tinggi deRajatnya dan lebih besar pahalanya.

Allah U berfirman:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا (66) وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا

“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil saja dari mereka. Dan sesungguhnyakalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal itu lebih baik bagi mereka, dan lebih menguatkan iman mereka. Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami” (An Nisa’:66-67).

Begitu juga ketika Allah memerintahkan untuk berjihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwa, padahal jihad itu sendiri berpotensi mengundang kematian, bahkan sering kali kematian itu menjadi suatu kemestian di dalamnya; dan Ia mencela orang-orang yang mundur dari medan jihad karena takut mati, dan menyifati mereka sebagai orang-orang munafik, Ia berfirman;

Ayat Kelima

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا (77) أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ  [النساء : 77 ، 78]

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah tanganmu dari berperang, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!” Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka –yaitu orang-orang munafik–takut kepada manusia, seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih dahsyat lagi. Mereka berkata: “Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban jihad ini) beberapa waktu lagi…?” Katakanlah: “Kesenangan dunia itu hanyalah sebentar, dan akherat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya sedikitpun. Dimanapun kalian berada, kematian itu pasti mendatangi kalian, kendatipun kalian berada dalam benteng yang kokoh dan menjulang tinggi…” (An Nisa’:77-78).

Ayat keenam

وَلَقَدْ كَانُوا عَاهَدُوا اللَّهَ مِنْ قَبْلُ لَا يُوَلُّونَ الْأَدْبَارَ وَكَانَ عَهْدُ اللَّهِ مَسْئُولًا (15) قُلْ لَنْ يَنْفَعَكُمُ الْفِرَارُ إِنْ فَرَرْتُمْ مِنَ الْمَوْتِ أَوِ الْقَتْلِ وَإِذًا لَا تُمَتَّعُونَ إِلَّا قَلِيلًا (16) قُلْ مَنْ ذَا الَّذِي يَعْصِمُكُمْ مِنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءًا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

“Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah bahwa mereka tidak akan melarikan diri, dan sungguh, perjanjian dengan Allah itu akan dimintai pertanggungan jawabnya”. Katakanlah: “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) toh kamu tidak juga mengecap kesenangan kecuali sebentar saja”. Katakanlah: “siapakah yang dapat melindungi kamu dari takdir Allah, jika Ia menghendaki bencana atasmu, atau menghendaki rahmat?” dan orang-orang munafik itu tiada akan memperoleh pelindung bagi mereka maupun penolong selain Allah” (Al Ahzab:15-17).

Perhatikan, bagaimana Allah mengabarkan bahwasanya lari dari kematian maupun pembunuhan tidak akan bermanfaat; karena bagaimanapun seseorang pasti akan mati juga. Bahkan alangkah banyaknya orang yang mencoba lari tetapi justeru mati atau terbunuh, dan alangkah banyaknya orang yang bertahan tetapi justeru tidak terbunuh… Kemudian Ia mengatakan seandainya pun kalian hidup, kalian toh tidak akan mengecap kenikmatan melainkan sebentar sahaja. Dan Ia menjelaskan bahwa tak seorang pun yang dapat melindungi mereka dari takdir Allah, kalaulah Allah ingin merahmati atau mengazab mereka… jadi, lari dari ketaatan kepada-Nya tidak akan menyelamatkan mereka. Kemudian Ia mengabarkan bahwa mereka tidak memiliki pelindung dan penolong selain Allah.

Sebagaimana Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya, bahwa konsekuensi dari sifat pengecut seperti melarikan diri, adalah kembali dengan memikul dosa besar yang bakal menghantarkannya ke dalam neraka [9]; Ia berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ (15) وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ [الأنفال : 15 ، 16]

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertemu dengan orang-orang kafir dalam peperangan, maka janganlah kamu melarikan diri dari mereka. Barangsiapa yang melarikan diri dari mereka ketika itu, kecuali untuk berbelok mengatur siasat atau menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka ia telah kembali dengan membawa kemurkaan Allah, dan tempat kembalinya adalah Jahannam. Dan itulah sejelek-jelek tempat kembali” (Al Anfal:15-16).

Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang takut akan musuhnya hingga menghalangi mereka untuk berjihad, adalah orang munafik; Allah berfirman:

وَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنَّهُمْ لَمِنْكُمْ وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُونَ (56) لَوْ يَجِدُونَ مَلْجَأً أَوْ مَغَارَاتٍ أَوْ مُدَّخَلًا لَوَلَّوْا إِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُونَ [التوبة : 56 ، 57]

“Dan orang-orang munafik itu bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka termasuk golonganmu; padahal mereka bukanlah dari golonganmu; akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut. Seandainya mereka mendapati tempat berlindung, atau gua-gua, atau lobang-lobang dalam tanah, niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya” (At Taubah:56-57).

Dalam Shahihain, diriwayatkan dari Nabi e bahwa ketika beliau menyebut-nyebut dosa besar, beliau menyebutkan: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, sihir, sumpah palsu, menuduh wanita terhormat dengan perzinaan, dan menyebut pula diantaranya: “Lari dari medan perang ketika menghadapi musuh” [10].

Diriwayatkan dari Abu Hurairah t, bahwasanya Nabi e bersabda:

«شَرُّ مَا فِي الْمَرْءِ شُحٌّ هَالِعٌ أَوْ جُبْنٌ خَالِعٌ».

“Sejelek-jelek sifat seseorang ialah: bakhil yang tidak ketulungan atau sifat pengecut yang keterlaluan” [11].


[1] Ibnun Nahhas –rahimahullah– setelah menyebut beberapa ahli tafsir yang berbicara tentang sebab turunnya ayat ini seperti Ibnu Abi Hatim dan Abu Bakar ibnul Mundzir, sebagaimana yang dinukil oleh Syaikhul Islam tadi, beliau berkomentar: “Kisah Shuhaib ini diriwayatkan oleh sejumlah ahli tafsir selain yang telah kami sebutkan tadi, diantaranya Ibnu Mardawaih, Al Wahidy, Al Qurthuby dan yang lainnya”. Dan Ibnu Katsier Ad Dimasyqi berkata: “Sebagian besar mereka (ahli tafsir) menerapkan ayat tersebut kepada setiap mujahid fi sabilillah, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, jiwa dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka…” , (Masyari’ul Asywaaq 1/523). Lihat juga: Al ‘Ujab fi Bayanil Asbab tulisan Ibnu Hajar (1/525,526), Tafsir Al Qurthuby (3/20), Tafsir Ath Thabary (2/321), Tafsir Al Baghawy (2/329), Zadul Masier (1/223), Ad Durrul Mantsur (1/577), dan Ruhul Ma’ani (2/97).

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (4/249 tahqiq Mahmud Syakir), dari Al Mughirah bin Syu’bah t, katanya: “Umar suatu ketika mengutus pasukan, maka mereka pun berhasil mengepung musuh dalam bentengnya. Lalu tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suku Bajilah yang maju menyerang hingga ia terbunuh… maka sebagian besar manusia mengatakan: “Ia menjerumuskan dirinya dalam kebinasaan”. Akhirnya kabar ini pun sampai ke telinga Umar t, maka ia berkata: “Mereka keliru… bukankah Allah telah berfirman: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjual dirinya demi mencari keridhaan Allah, dan sesungguhnya Allah itu amat penyayang terhadap hamba-hamba-Nya” (Al Baqarah:207). Dalam kitab Kanzul ‘Ummal (11328) disebutkan bahwa hadits tadi juga diriwayatkan oleh Wakie’, ‘Abd bin Humeid, dan Ibnu Abi Hatim. Al Baihaqy (9/46) meriwayatkannya dari Mudrik bin ‘Auf Al Ahmusi, bahwa suatu ketika ia duduk di samping Umar ibnul Khaththab t, maka orang-orang bercerita tentang seseorang yang ‘menjual dirinya’ pada hari Nahawind (perang besar melawan Persia –pent ), maka Mudrik berkata: “Demi Allah wahai amirul mukminin, lelaki itu adalah pamanku; orang-orang beranggapan bahwa ia telah menjerumuskan dirinya dalam kebinasaan…” maka Umar menukas: “Mereka semua bohong, bahkan ia termasuk orang-orang yang membeli akherat dengan dunianya”.

Demikian pula diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (4/249 tahqiq Mahmud Syakir), bahwa Hisyam bin ‘Amir pernah menerobos barisan musuh seorang diri, hingga berhasil mengobrak-abrik mereka… maka orang-orang berseru: “Ia menjerumuskan dirinya dalam kebinasaan…!!” Namun Abu Hurairah t justeru menyitir firman Allah: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjual dirinya demi mencari keridhaan Allah” .

[3] Diriwayatkan oleh Al Bukhari (969) dengan makna yang sama namun lafazhnya:

ما الْعَملُ في أيَّامِ العَشْر أفضلَ منَ العَمَلِ فِي هَذِهِ. قالوا: ولا الجِهادُ؟ قال: ولا الجِهادُ، إِلاَّ رجُلٌ خرَجَ يُخاطِرُ بنفسهِ وَمالهِ فلم يَرجِعْ بشيء

Sedang hadits diatas menurut lafazh At Tirmidzi (757), dan beliau mengatakan hadits ini hasan shahih gharieb, kemudian lanjutnya: “Dalam bab ini juga diriwayatkan hadits-hadits semaknya dari Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Abdullah bin ‘Amru”.

[4] Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Mu’jamus Shaghir hadits nomor 889, dan Al Mu’jamul Ausath hadits nomor 6696.

[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1449), An Nasa’i dalam As Sunanul Kubra (2/32) dan dalam Al Mujtaba (5/59), dan hadits ini juga diriwayatkan secara ringkas oleh Ibnu Majah (2794), dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud (1/399).

Tentang  ((جَهْدُ الْمُقِلِّ)) Ibnul Atsier –rahimahullah– berkata: “Kata ‘al jahd’ dan ‘al juhd’ sering disebutkan dalam hadits, kalau ‘al juhd’ –dengan dhammah– artinya ialah kesanggupan dan kemampuan, sedang ‘al jahd’ –dengan fathah—artinya ialah kesulitan. Namun ada yang mengatakan bahwa ‘al jahd’ berarti tindakan yang berlebihan, atau berarti tujuan. Ada pula yang mengatakan bahwa keduanya –al jahd dan al juhd— adalah ungkapan yang bermakna sama, yaitu kesanggupan dan kemampuan; adapun yang maknanya kesulitan dan tujuan maka tidak diungkapkan dengan ungkapan lain selain ‘al jahd’ ” (An Nihayah fi Ghariebil Hadits 1/320).

[6] Yaitu dalam firman-Nya:

فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang sangat penyabar. Maka tatkala anak itu beranjak dewasa dan mampu membantu ayahnya, Ibrahim berkata: “Hai puteraku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu; maka fikirkanlah, apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah pasrah dan Ibrahim membaringkan puteranya di atas pelipisnya, (terbuktilah ketaatan keduanya). Dan Kami panggilah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu; sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor (domba) sembelihan yang besar” (Ash Shaaffaat:101-107).

[7] * Faedah; Syaikhul Islam –rahimahullah– berkata: “Hakikatnya; perintah yang merupakan ujian dan cobaan itu dianjurkan agar dilakukan, meski tidak mengandung manfaat apa-apa. Ketika seorang hamba meyakininya sebagai perintah Allah dan bertekad melaksanakannya, sesungguhnya maksud perintah itu telah tercapai, meski ia sendiri belum sempat mewujudkannya. Seperti Ibrahim ketika disuruh menyembelih anaknya; dan seperti yang disebutkan dalam hadits yang bercerita tentang Si Botak, Si Belang, dan Si Buta ketika mereka dimintai uang oleh seorang ibnussabil… maka Si Botak, dan Si Belang menolak hingga Allah mencabut nikmat-Nya dari mereka berdua. Adapun Si Buta, maka ia memberi apa yang dimintanya, maka dikatakan kepadanya: “Simpanlah uangmu, ini hanyalah sekedar ujian bagimu, Allah sudah ridha kepadamu dan memurkai kedua temanmu”. Inilah sesungguhnya hikmah yang terpendam dalam setiap perintah dan larangan, dan bukannya pada amalan itu sendiri. Karena kadang seorang hamba diperintah dan dilarang dan hikmahnya terkandung dalam ketaatan dan ketundukannya terhadap perintah itu, yang kemudian ia barengi dengan mengorbankan apa yang diminta; sebagaimana Ibrahim yang diminta untuk mendahulukan kecintaannya kepada Allah di atas kecintaannya kepada puteranya, agar kecintaan itu sempurna sebelum ia menyembelih anaknya; maka tatkala ia benar-benar bertekad hendak melaksanakan perintah itu, terbuktilah sudah, bahwa Allah lebih dicintainya dari sang anak maupun yang lain, hingga tak tersisa tempat untuk kekasih lain di hatinya selain Allah” (Majmu’ Fatawa 14/145).

[8] Al Hafizh Ibnu Katsier –rahimahullah– mengatakan; Az Zuhri bercerita: “Ketika Bani Israel diperintah untuk saling membunuh, mereka semua keluar bersama Nabiyullah Musa… kemudian mereka saling menebaskan pedang satu sama lain, dan saling tikam-menikam dengan pisau belati; sedangkan Musa menengadahkan kedua tangannya. Sampai ketika sebahagian mereka telah binasa, mereka berkata kepada Musa: “Wahai Nabi Allah, berdoalah kepada Allah untuk kami!” mereka pun bergelantungan di kedua tangan Musa seraya memelas…, dan mereka terus-menerus seperti itu;  hingga tatkala Allah menerima taubat mereka, Ia menahan tangan mereka satu sama lain, dan mereka pun mencampakkan senjata-senjata mereka. Musa dan Bani Israel pun sedih tak kepalang melihat kaumnya yang terbunuh…  Maka Allah U mewahyukan kepada Musa: “Apa yang membuatmu sedih…? Mereka yang terbunuh sesungguhnya hidup di sisiku dan mendapat rezeki, sedang mereka yang masih hidup telah kuterima taubatnya” maka Musa dan Bani Israel pun merasa senang kembali”. Cerita ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Az Zuhri dengan sanad yang jayyid (bagus) (Tafsir Ibnu Katsir 1/93,94).

Lihat juga Tafsir Ath Thabary (2/73), Ma’anil Qur’an (3/84), Tafsir Abus Sa’ud (1/102), Tafsir Al Wahidy (2/703), Zadul Masier (1/82), Ad Durrul Mantsur (1/168), dan Ruhul Ma’ani (1/260).

[9] * Faedah: Al ‘Allaamah Ibnul Qayyim –rahimahullah– berkata: “…Konon Rasulullah sering kali berlindung kepada Allah dari sifat pengecut, dan sifat pengecut itu merupakan perangai tercela di mata seluruh manusia. Orang-orang pengecut adalah orang yang berburuk sangka kepada Allah, sedang orang-orang yang pemberani dan dermawan adalah orang yang berbaik sangka kepada-Nya. Seperti yang diwasiatkan oleh sebagian orang bijak: “Bergaulah dengan orang-orang yang pemberani dan dermawan, karena mereka orang yang pandai berbaik sangka kepada Allah… keberanian merupakan perisai yang melindungi seseorang dari mara bahaya, sedang sikap pengecut merupakan pertolongan yang diberikannya kepada musuh untuk melawan dirinya; ia ibarat senjata dan pasukan yang diberikan kepada musuh supaya memeranginya. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan: “Keberanian itu melindungi, sedang sikap pengecut itu mencelakai”.

Allah sendiri telah memupuskan angan-angan para pengecut ketika mereka mengira bahwa sikap pengecut mereka akan menyelamatkan mereka dari kematian dan pembunuhan, Ia berfirman: Katakanlah: “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan…” (Al Ahzab:16). Saksikanlah fakta ini dalam medan-medan pertempuran, bukankah mereka yang mati karena melarikan diri justeru lebih banyak dari pada mereka yang mati karena maju dan pantang mundur??

Dalam wasiat Abu Bakar Ash Shiddieq t kepada Khalid bin Walid dikatakan: “Burulah kematian, kau akan diberi kehidupan…”. Khalid bin Walid berkata: “Aku telah menerjuni berbagai kancah pertempuran di zaman jahiliyah maupun Islam, dan tak tersisa sedikitpun dari tubuhku melainkan padanya terdapat bekas tusukan tombak, atau sayatan pedang… namun lihatlah diriku yang justeru menjemput kematian di atas kasur… Sungguh, mata para pengecut tak akan pernah tidur selamanya”. Dan setiap orang yang berakal tidak akan ragu bahwa menyambut kematian yang datang menjelang adalah lebih baik dari pada membelakanginya, wallaahu a’lam (Al Furusiyyah hal 491-493).

[10] Diriwayatkan oleh Al Bukhari (2767), Muslim (89, 145) dari Abu Hurairah t, dari Rasulullah e dengan lafazh:

( اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِيَا، قَالُوا: يَارَسُولَ اللّهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِالله. وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ الله إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ).

yang artinya: “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan” kata mereka: “Apakah itu ya Rasulullah?”, jawab beliau: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang haram untuk dibunuh, kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita muslimah yang menjaga kehormatannya sebagai pezina”.

[11] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2511), Ahmad (2/302,320), Ibnu Hibban (4218), Al Baihaqy (9/170) dengan sanad shahih, dan dishahihkan pula oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah (560).

( هـَاِلعٌ ) maksudnya ialah sedih dan murung yang berlebihan (An Nihayah fi Ghariebil Hadits 5/269). Sedangkan ( جُبْنُ خَالِعُ ) maksudnya ialah rasa takut yang amat sangat, seakan-akan hatinya tercabut saking ketakutan, dan ini merupakan kiasan; sedangkan yang dimaksud sesungguhnya ialah khayalan-khayalan dan nyali yang ciut ketika ketakutan (An Nihayah fi Ghariebil Hadits 2/64).